Berbeda dengan historiografi
tradisional, historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas
masalah penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia oleh Belanda. Penulisan
tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara penulis-penulisnya
yang tidak pernah melihat Indonesia. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari
arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia); pada umumnya tidak
menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Sesuai dengan namanya
yaitu historiografi kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut
penulisan sejarah Indonesia.
Lebih tepat disebut sejarah
bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Mengapa demikian? Hal ini
tidaklah mengherankan, sebab fokus pembicaraan adalah bangsa Belanda, bukanlah
kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda.
Itulah sebabnya sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentries
atau Belanda sentris. Yang diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar
adalah aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai
kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal
dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat
tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali.
Contoh historigrafi kolonial,
antara lain sebagai berikut: Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van
Leur; Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke; Indonesian Society in
Transition karangan Wertheim.
Bagi para sejarawan Indonesia,
pengetahuan tentang bahasa Belanda dan sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan.
Hampir semua dokumen resmi dan sebagian besar memoar pribadi serta gambaran
mengenai negeri ini, yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis
dalam bahasa tersebut. Namun dilihat sepintas lalu, sebagian besar
sumber-sumber Belanda mungkin tampak tidak penting kaitannya dengan sejarah
Indonesia. Laporan-laporan resmi Belanda pasti melukiskan kehidupan serta
tindakan orang Belanda, dan bukan orang Indonesia. Laporan itu ditulis dengan
sudut pandang Eropa, bukan Asia.
Semua itu merupakan keberatan
yang meyakinkan, namun jawabannya dapat ditemukan. Pertama-tama, seluruh sumber
Belanda saja, yang bersifat naskah dalam tulisan tangan maupun cetakan harus
ditekankan artinya. Berjilid-jilid buku bersampul kulit dari berita-berita VOC
(Vereenigde Oost-indische Compagnie) yang dijajarkan dalam almari arsip negara
di Den Haag saja sudah berjumlah lebih dari dua belas ribu buah. Berita-berita
dari pengganti kompeni, yaitu pemerintah Hindia-Belanda sebagian dari antaranya
sudah berjilid, sebagian lainnya masih dalam berkas-berkasnya yang asli sepuluh
kali lebih banyak dari jumlah itu. Kedua, para pegawai Belanda di Indonesia
sejak masa yang paling awal, mempunyai banyak kepentingan dan tanggung jawab di
luar kegiatan-kegiatan perdagangan dan tata usaha sehari-hari. Pada abad ke-17,
ketika ketidaktahuan Eropa tentang Asia, para pegawai VOC harus menyiapkan
laporan-laporan yang teliti mengenai keadaan di Indonesia, bagi para tuannya di
Belanda dengan sedikit gambaran tentang keadaan Indonesia, sehingga keputusan
yang diambil di Belanda mempunyai dasar yang lebih kokoh daripada dugaan
semata.
Kemudian, ketika pemerintah
Hindia Belanda memerintah di seluruh Indonesia, para pegawainya diharuskan
memberikan laporan tentang seluruh negeri dan setiap rincian tentang hukum dan
kebiasaan setempat yang menarik perhatiannya. Sekali lagi, tujuannya adalah
agar kebijakan pemerintah dapat disesuaikan dengan tuntutan tampat dan waktu.
Umumnya tugas itu dilaksanakan secara lebih cakap oleh para pegawai Belanda di
timur daripada para pegawai kolonial mana pun.
PENULISAN
SEJARAH MASA KOLONIAL HINDIA BELANDA
Penulisan sejarah Hindia Belanda
yang tertua dapat disebut pada buku-buku harian kapal yang pada zaman keemasan
dicetak dalam jumlah yang besar dan banyak dibaca. Kini buku-buku tersebut
diterbitkan kembali dengan lengkap oleh Van Linschoten Vereeniging. Suatu kisah
umum yang pertama tentang kegiatan-kegiatan VOC pada masa permulaan terdapat dalam
buku Begin ende voortganck van de vereenigde Nederlandsche Geoctroyeerde
Oost-Indische Compagnie. Walaupun pelajar-pelajar ke Hindia (Oostinjevaarders)
tidak datang untuk belajar melainkan untuk berdagang, sebagian besar dari
mereka tidak bisa menghindarkan diri dari mencatat beberapa keterangan tentang
berbagai hal yang aneh yang mereka lihat dan dengar. Sangatlah menarik
perhatian betapa ekstensifnya surat-surat resmi kompeni dan penuh dengan
keterangan-keterangan etnografis dan historis. Tetapi sayang sekali dokumen ini
kebanyakan berada dalam arsip. Hanya beberapa dokumen saja yang dikeluarkan
dalam zaman Campagnie itu juga seperti buku Van Goen tentang pulau Jawa. Buku
yang pertama dalam jenisnya ini justru menceritakan pegawai kompeni yang sejati,
penuh perhatian pada masyarakat pribumi yang menakjubkan.
KARAKTERISTIK
HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Historiografi kolonial memiliki
beberapa karakteristik yang membedakannya dengan historiografi pada periode
yang lainnya. Historiografi kolonial ditulis oleh sejarawan atau orang-orang
pemerintah kolonial yang intinya bahwa yang membuat adalah orang barat.
Pembuatan historiografi ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan
pada pemerintah kerajaan Belanda, sebagai bahan evaluasi menentukan kebijakan
pada daerah kolonial. Oleh karena itu motivasinya adalah sebagai bahan laporan
maka yang ditulisnya pun adalah sejarah dan perkembangan orang-orang asing di
daerah kolonial khususnya Indonesia. Sangat sedikit hasil historiografi
kolonial yang menceritakan tentang kondisi rakyat jajahan, atau bahkan mungkin
tidak ada. Toh, kalau pun tercatat, orang pribumi itu sangat dekat hubungannya
dengan orang asing dan yang telah berjasa pada pemerintah kolonial.
Historiografi kolonial dengan
sendirinya menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek
politis, ekonomis dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara
logis dari situasi kolonial dimana penulisan sejarah terutama mewujudkan
sejarah dari golongan yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interpretasi
dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari dominasi itu,
dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah,
yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk survival masyarakat serta kebudayaannya.
Ciri dari historiografi kolonial
masa Hindia Belanda adalah memiliki sifat Eropa Sentris atau yang lebih
fokusnya adalah Belanda Sentris. Boleh dikatakan bahwa sifat ini memusatkan
perhatiannya kepada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik dalam
pelayarannya maupun permukimannya di benua lain. Jadi yang primer ialah riwayat
perantauan atau kolonisasi bangsa Belanda, sedangkan peristiwa-peristiwa
sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi sekunder. Sumber-sumber yang
dipergunakan ialah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta
(Batavia). Pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber
Indonesia. Fokus pembicaraannya adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan
rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya
sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentries atau Belanda
sentris. Uraian utama yang dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas
bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni
(orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam
menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah
jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali. Contoh historigrafi kolonial,
antara lain sebagai berikut: Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van
Leur; Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke; Indonesian Society in
Transition karangan Wertheim.
SEJARAWAN
MASA KOLONIAL
1.
Valentjin (1666-1727), Suatu ikhtisar yang
besar mengenai segala sesuatu yang dikenal tentang kompeni dan kepulauan ini
pada permulaan abad ke 18 adalah “Oud en Nieuw Oost Indien” karangan de F.
Valentjin. Ensiklopedia Hindia Belanda dari masa Campagnie ini adalah suatu
karya yang sangat dalam 8 jilid buku, dan dihias dengan gambar-gambar yang
tidak menarik. Sebenarnya karya itu merupakan suatu kompilasi yang mengagumkan
dari pengumumaan, dokumen-dokumen pribadi dan fragmen-fragmen yang dicuri dari
karya orang lain yang dikumpulkan oleh sesorang yang mengenal Hindia-Belanda
dengan baik.
Valentijn kiranya
sangat senang dengan suasana Hindia, dia sendiri juga tidak lepas dari
kesalahan. Dia menaruh hati pada kebesaran Campagnie dan pertumbuhan gereja
Hindia akan tetapi ia juga mengkritik sejarah Hindia tentang orang-orang
tertentu. Dalam karyanya tentang sejarah Maluku ia berdiam bertahun-tahun untuk
menulis karya tersebut. Dari banyak peninggalan Jawa kuno yang tercatat dalam
babad, interpretasi pertama dan tertua adalah miliki Valentijn.
2.
Van
Dam, Karyanya
lebih resmi dan kurang pribadi sifatnya daripada karya Valentijn. Akan tetapi
karya ini kurang berarti karena Van Dam melihatnya melalui kacamata Campagnie
dan Hindia yang hanya dikenalnya dari surat-surat dan buku-buku. Van Dam
menulis dari Belanda. Anehnya pada masa itu buku Van Dam dirahasiakan. Baru
sekarang buku itu diterbitkan dalam Rijks Geschiedkundige Publicatien oleh Dr.
F. W. Stapel. Inilah titik puncak dalam penulisan sejarah Compagnie.
3.
Thomas
Stamford Raffles (1781-1826), Raffles melihat
Hindia dari segi yang lain sama sekali. Dalam buku karyanya yaitu History of
Java, dia banyak banyak menggunakan sumber-sumber pribumi yang dibuka oleh
temannya Panembahan dari Sumenep.
4.
J.
Hageman
(1817-1872), Hageman merupakan seoarang pencari, pengumpul, pemeriksa, dan
seorang yang berpengetahuan luas yang sangat bersemangat dan tidak kenal lelah
dan juga karena kurangnya pendidikan, bekerja sangat tidak kritis dan karena
itu memberikan banyak kesempatan untuk dikritik. Dia adalah orang Belanda
pertamayang telah berusaha menulis sejarah nasional pulau Jawa.
5.
De
Jonge
(1828-1879), De Jonge sendiri sejak tahun 1854 bekerja pada Arsip Kerajaan.
Mulai tahun 1862 ia menerbitkan suatu seri dokumen dalam 10 jilid yang
dilengkapi dengan pengantar-pengantar historis.
MAZHAB PENULISAN MASA KOLONIAL
1.
Mazhab
Batavia, Dalam
Arsip Negara di Batavia terbentuk suatu mazhab sejarawan-sejarawan Hindia yang
mencurahkan perhatiannya pada penerbitan sumber. Antara lain dengan
diterbitkannya N.I. Plakkaatboek dan Dagregister (1682) oleh Mr. J.A van der
Chije yang disimpan di Kasteel di Batavia. Kepala arsip Negara, F. de Haan,
memperkaya Hindia dengan banyak naskah orisinil. Kita hanya tahu karyanya yaitu
“Priangan” dan “Oud Batavia” yang popular pada saat itu. Mereka menulis
karya-karyanya hanya mengenal Hindia dan penduduk-penduduk Eropa saja melalui
pengamatanya sendiri, sehingga penilaian mereka tentang orang-orang Eropa itu
tidak lebih baik, paling tidak miliki alasan yang kuat. Sedangkan perhatian
mereka pada orang-orang pribumi hanya insidentil saja. Mereka hanya melihat
dari sumber buku-buku Campagnie. Tidak ada seorang pun yang bisa mempelajari
sumber-sumber pribumi yang asli. Dengan demikian corak penulisan mereka lebih
kepada ciri Nasionalistis Nederland, sedangkan sejarah Batavia dan perkumpulan
Oud-Batavia telah menjadi kombinasi museum dan Coen-mausoleum.
2.
Mazhab
Utrecht, Sejak
10 tahun akhirnya Prof. Gerretson melakukan suatu perjuangan terhadap
pengertian-pengertian tentang keadaan kolonial yang tidak bisa dikatakan tidak
berhasil sama sekali, agar mendapatkan pandangan yang lebih baik dalam hak-hak
dan kewajiban kolonial. Dengan demikian mazhab ini beraliran konservatif yang
diperkenalkan oleh Gubernur Jendral van der Capellen dan bahkan membela cultur
stelsel yang bertentangan dengan kaum kolonial-liberalisme dan etis pada saat
itu.
Mazhab Utrecht
menggali masalah-masalah kolonial lebih mendalam dari pada yang pernah
dilakukan dan mazhab batavia memperlihatkan perhatiannya kepada orang-orang
kolonial. Dibandingkan dengan aliran yang sebelumnya, maka terlihat perbedaan
dalam tujuan yang hanya membahas mengenai kegiatan-kegiatan kolonisator. Akan
tetapi dalam metodenya tidak memilki perbedaan yaitu sama-sama menggunakan
sumber dari peninggalan-peninggalan tertulis maupun lisan dari orang-orang
pribumi. Seperti pada tahun 1600, hanya sedikit yang menceritakan tentang
periode Hindu Jawa dan Islam tetapi lebih banyak mengungkapkan hal-hal pada
masa Campagnie.
KELEBIHAN
HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Tidak disangkal bahwa
historiografi masa kolonial turut memperkuat proses naturalisasi historiografi
Indonesia. Terlepas dari subyektifitas yang melekat, sejarawan kolonial
berorientasikan fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta-fakta
sungguh mencolok. Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia
tidak dapat mengabaikan literatur historiografis yang dihasilkan oleh sejarawan
kolonial.
KELEMAHAN
HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
1.
Subyektifitas Tinggi Terhadap
Belanda. Subyektifitas
begitu melekat pada historiografi masa kolonial. Sejarawan kolonial pada
umumnya deskripsinya berorientasikan pada kejadian-kejadian yang menyangkut
orang-orang Belanda, misalnya dalam sejarah VOC. Banyak kupasan-kupasan yang
menekankan ciri yang menonjol yaitu Nederlandosentrime pada khususnya dan
Eropasentrisme pada umumnya.
Apabila kita
mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa perang
bersekala besar (Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh) maupun yang
bersekala kecil yang dilakukan oleh rakyat disebut rusuh atau brandalan.
Seperti pemberontakan di Cilegon, Gedangan, Jambi, Cimareme. Sejarah perang
kolonial terutama menguraikan berbagai operasi militer secara mendetail,
sedangkan bangsa Indonesia hanya disebut sebgai obyek dari aksi militer itu.
2.
Kekurangan Kualitatif dari
Sejarawan-Sejarawan Kolonial.
Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku dan
dibuat-buat. Buku-buku yang seluruhnya ditulis dari ruang studi di Belanda dan
hampir seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabatnya dan orang-orang
pribumi yang kebetulan dijumpai. Hanya sedikit dibicarakan tentang rakyat yang
berfikir, yang merasa dan bertindak dan hampir tidak seorang pun yang berusaha
meneliti syair-syair, hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi
pertimbangan dan pendapat mereka karena kebanyakan sejarawan Campagnie hampir
tidak menceritakan akan adanya tulisan-tulisan pribumi atau menilainya terlalu
rendah. Mereka malu akan bahan-bahannya baik orang Eropa maupun orang pribumi
dikritik. Bahwa keadaannya jauh lebih baik dan hal ini membenarkan kehadiran
orang-orang Eropa sekarang.
3.
Kekurangan Kuantitatif. Setelah masa kompeni relatif
sedikit karya-karya yang diterbitkan yang disebabkan oleh sistem kerahasian
yang fatal dan yang berlaku pada masa itu dan pergawasan yang menurun terhadap
jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah bahan arsip yang banyak, hanya
sedikit saja yang merupakan sumber terbuka. Cukup besar keuntungan kita apabila
mempunyai penerbit dari Generalie Missiven atau laporan-laporan kolonial yang
dititipkan setiap tahun, satu atau beberapa exemplar pada kapal-kapal yang
berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah Hindia Belanda melainkan juga
tentang sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya memiliki suatu penerbitan
yang sangat tidak lengkap dari missiven yang dikumpulkan oleh ahli arsip
kerajaan, de Jonge memiliki hubungan Indonesia. Penerbit ini dicetak atas
kertas yang buruk sekali, sehingga penerbit ini tidak akan bertahan lama hal
ini merupakan salah satu contoh kesulitan yang di hadapi seorang sejarahwan
kompeni. Jumlah buku tentang sejarah Indonesia sangatlah minim.
db
Tidak ada komentar:
Posting Komentar