Senin, 04 Maret 2013

Historiografi Indonesia Masa Kolonial


Berbeda dengan historiografi tradisional, historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia oleh Belanda. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara penulis-penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia); pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Sesuai dengan namanya yaitu historiografi kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut penulisan sejarah Indonesia.
Lebih tepat disebut sejarah bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Mengapa demikian? Hal ini tidaklah mengherankan, sebab fokus pembicaraan adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentries atau Belanda sentris. Yang diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali.
Contoh historigrafi kolonial, antara lain sebagai berikut: Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur; Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke; Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.
Bagi para sejarawan Indonesia, pengetahuan tentang bahasa Belanda dan sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan. Hampir semua dokumen resmi dan sebagian besar memoar pribadi serta gambaran mengenai negeri ini, yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis dalam bahasa tersebut. Namun dilihat sepintas lalu, sebagian besar sumber-sumber Belanda mungkin tampak tidak penting kaitannya dengan sejarah Indonesia. Laporan-laporan resmi Belanda pasti melukiskan kehidupan serta tindakan orang Belanda, dan bukan orang Indonesia. Laporan itu ditulis dengan sudut pandang Eropa, bukan Asia.
Semua itu merupakan keberatan yang meyakinkan, namun jawabannya dapat ditemukan. Pertama-tama, seluruh sumber Belanda saja, yang bersifat naskah dalam tulisan tangan maupun cetakan harus ditekankan artinya. Berjilid-jilid buku bersampul kulit dari berita-berita VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) yang dijajarkan dalam almari arsip negara di Den Haag saja sudah berjumlah lebih dari dua belas ribu buah. Berita-berita dari pengganti kompeni, yaitu pemerintah Hindia-Belanda sebagian dari antaranya sudah berjilid, sebagian lainnya masih dalam berkas-berkasnya yang asli sepuluh kali lebih banyak dari jumlah itu. Kedua, para pegawai Belanda di Indonesia sejak masa yang paling awal, mempunyai banyak kepentingan dan tanggung jawab di luar kegiatan-kegiatan perdagangan dan tata usaha sehari-hari. Pada abad ke-17, ketika ketidaktahuan Eropa tentang Asia, para pegawai VOC harus menyiapkan laporan-laporan yang teliti mengenai keadaan di Indonesia, bagi para tuannya di Belanda dengan sedikit gambaran tentang keadaan Indonesia, sehingga keputusan yang diambil di Belanda mempunyai dasar yang lebih kokoh daripada dugaan semata.
Kemudian, ketika pemerintah Hindia Belanda memerintah di seluruh Indonesia, para pegawainya diharuskan memberikan laporan tentang seluruh negeri dan setiap rincian tentang hukum dan kebiasaan setempat yang menarik perhatiannya. Sekali lagi, tujuannya adalah agar kebijakan pemerintah dapat disesuaikan dengan tuntutan tampat dan waktu. Umumnya tugas itu dilaksanakan secara lebih cakap oleh para pegawai Belanda di timur daripada para pegawai kolonial mana pun.

PENULISAN SEJARAH MASA KOLONIAL HINDIA BELANDA
Penulisan sejarah Hindia Belanda yang tertua dapat disebut pada buku-buku harian kapal yang pada zaman keemasan dicetak dalam jumlah yang besar dan banyak dibaca. Kini buku-buku tersebut diterbitkan kembali dengan lengkap oleh Van Linschoten Vereeniging. Suatu kisah umum yang pertama tentang kegiatan-kegiatan VOC pada masa permulaan terdapat dalam buku Begin ende voortganck van de vereenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie. Walaupun pelajar-pelajar ke Hindia (Oostinjevaarders) tidak datang untuk belajar melainkan untuk berdagang, sebagian besar dari mereka tidak bisa menghindarkan diri dari mencatat beberapa keterangan tentang berbagai hal yang aneh yang mereka lihat dan dengar. Sangatlah menarik perhatian betapa ekstensifnya surat-surat resmi kompeni dan penuh dengan keterangan-keterangan etnografis dan historis. Tetapi sayang sekali dokumen ini kebanyakan berada dalam arsip. Hanya beberapa dokumen saja yang dikeluarkan dalam zaman Campagnie itu juga seperti buku Van Goen tentang pulau Jawa. Buku yang pertama dalam jenisnya ini justru menceritakan pegawai kompeni yang sejati, penuh perhatian pada masyarakat pribumi yang menakjubkan.

KARAKTERISTIK HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Historiografi kolonial memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan historiografi pada periode yang lainnya. Historiografi kolonial ditulis oleh sejarawan atau orang-orang pemerintah kolonial yang intinya bahwa yang membuat adalah orang barat. Pembuatan historiografi ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan pada pemerintah kerajaan Belanda, sebagai bahan evaluasi menentukan kebijakan pada daerah kolonial. Oleh karena itu motivasinya adalah sebagai bahan laporan maka yang ditulisnya pun adalah sejarah dan perkembangan orang-orang asing di daerah kolonial khususnya Indonesia. Sangat sedikit hasil historiografi kolonial yang menceritakan tentang kondisi rakyat jajahan, atau bahkan mungkin tidak ada. Toh, kalau pun tercatat, orang pribumi itu sangat dekat hubungannya dengan orang asing dan yang telah berjasa pada pemerintah kolonial.
Historiografi kolonial dengan sendirinya menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politis, ekonomis dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara logis dari situasi kolonial dimana penulisan sejarah terutama mewujudkan sejarah dari golongan yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari dominasi itu, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk survival masyarakat serta kebudayaannya.
Ciri dari historiografi kolonial masa Hindia Belanda adalah memiliki sifat Eropa Sentris atau yang lebih fokusnya adalah Belanda Sentris. Boleh dikatakan bahwa sifat ini memusatkan perhatiannya kepada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik dalam pelayarannya maupun permukimannya di benua lain. Jadi yang primer ialah riwayat perantauan atau kolonisasi bangsa Belanda, sedangkan peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi sekunder. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia). Pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Fokus pembicaraannya adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentries atau Belanda sentris. Uraian utama yang dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali. Contoh historigrafi kolonial, antara lain sebagai berikut: Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur; Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke; Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.

SEJARAWAN MASA KOLONIAL
1.    Valentjin (1666-1727), Suatu ikhtisar yang besar mengenai segala sesuatu yang dikenal tentang kompeni dan kepulauan ini pada permulaan abad ke 18 adalah “Oud en Nieuw Oost Indien” karangan de F. Valentjin. Ensiklopedia Hindia Belanda dari masa Campagnie ini adalah suatu karya yang sangat dalam 8 jilid buku, dan dihias dengan gambar-gambar yang tidak menarik. Sebenarnya karya itu merupakan suatu kompilasi yang mengagumkan dari pengumumaan, dokumen-dokumen pribadi dan fragmen-fragmen yang dicuri dari karya orang lain yang dikumpulkan oleh sesorang yang mengenal Hindia-Belanda dengan baik.
Valentijn kiranya sangat senang dengan suasana Hindia, dia sendiri juga tidak lepas dari kesalahan. Dia menaruh hati pada kebesaran Campagnie dan pertumbuhan gereja Hindia akan tetapi ia juga mengkritik sejarah Hindia tentang orang-orang tertentu. Dalam karyanya tentang sejarah Maluku ia berdiam bertahun-tahun untuk menulis karya tersebut. Dari banyak peninggalan Jawa kuno yang tercatat dalam babad, interpretasi pertama dan tertua adalah miliki Valentijn.
2.    Van Dam, Karyanya lebih resmi dan kurang pribadi sifatnya daripada karya Valentijn. Akan tetapi karya ini kurang berarti karena Van Dam melihatnya melalui kacamata Campagnie dan Hindia yang hanya dikenalnya dari surat-surat dan buku-buku. Van Dam menulis dari Belanda. Anehnya pada masa itu buku Van Dam dirahasiakan. Baru sekarang buku itu diterbitkan dalam Rijks Geschiedkundige Publicatien oleh Dr. F. W. Stapel. Inilah titik puncak dalam penulisan sejarah Compagnie.
3.    Thomas Stamford Raffles (1781-1826), Raffles melihat Hindia dari segi yang lain sama sekali. Dalam buku karyanya yaitu History of Java, dia banyak banyak menggunakan sumber-sumber pribumi yang dibuka oleh temannya Panembahan dari Sumenep.
4.    J. Hageman (1817-1872), Hageman merupakan seoarang pencari, pengumpul, pemeriksa, dan seorang yang berpengetahuan luas yang sangat bersemangat dan tidak kenal lelah dan juga karena kurangnya pendidikan, bekerja sangat tidak kritis dan karena itu memberikan banyak kesempatan untuk dikritik. Dia adalah orang Belanda pertamayang telah berusaha menulis sejarah nasional pulau Jawa.
5.    De Jonge (1828-1879), De Jonge sendiri sejak tahun 1854 bekerja pada Arsip Kerajaan. Mulai tahun 1862 ia menerbitkan suatu seri dokumen dalam 10 jilid yang dilengkapi dengan pengantar-pengantar historis.

MAZHAB PENULISAN MASA KOLONIAL
1.    Mazhab Batavia, Dalam Arsip Negara di Batavia terbentuk suatu mazhab sejarawan-sejarawan Hindia yang mencurahkan perhatiannya pada penerbitan sumber. Antara lain dengan diterbitkannya N.I. Plakkaatboek dan Dagregister (1682) oleh Mr. J.A van der Chije yang disimpan di Kasteel di Batavia. Kepala arsip Negara, F. de Haan, memperkaya Hindia dengan banyak naskah orisinil. Kita hanya tahu karyanya yaitu “Priangan” dan “Oud Batavia” yang popular pada saat itu. Mereka menulis karya-karyanya hanya mengenal Hindia dan penduduk-penduduk Eropa saja melalui pengamatanya sendiri, sehingga penilaian mereka tentang orang-orang Eropa itu tidak lebih baik, paling tidak miliki alasan yang kuat. Sedangkan perhatian mereka pada orang-orang pribumi hanya insidentil saja. Mereka hanya melihat dari sumber buku-buku Campagnie. Tidak ada seorang pun yang bisa mempelajari sumber-sumber pribumi yang asli. Dengan demikian corak penulisan mereka lebih kepada ciri Nasionalistis Nederland, sedangkan sejarah Batavia dan perkumpulan Oud-Batavia telah menjadi kombinasi museum dan Coen-mausoleum.
2.    Mazhab Utrecht, Sejak 10 tahun akhirnya Prof. Gerretson melakukan suatu perjuangan terhadap pengertian-pengertian tentang keadaan kolonial yang tidak bisa dikatakan tidak berhasil sama sekali, agar mendapatkan pandangan yang lebih baik dalam hak-hak dan kewajiban kolonial. Dengan demikian mazhab ini beraliran konservatif yang diperkenalkan oleh Gubernur Jendral van der Capellen dan bahkan membela cultur stelsel yang bertentangan dengan kaum kolonial-liberalisme dan etis pada saat itu.
Mazhab Utrecht menggali masalah-masalah kolonial lebih mendalam dari pada yang pernah dilakukan dan mazhab batavia memperlihatkan perhatiannya kepada orang-orang kolonial. Dibandingkan dengan aliran yang sebelumnya, maka terlihat perbedaan dalam tujuan yang hanya membahas mengenai kegiatan-kegiatan kolonisator. Akan tetapi dalam metodenya tidak memilki perbedaan yaitu sama-sama menggunakan sumber dari peninggalan-peninggalan tertulis maupun lisan dari orang-orang pribumi. Seperti pada tahun 1600, hanya sedikit yang menceritakan tentang periode Hindu Jawa dan Islam tetapi lebih banyak mengungkapkan hal-hal pada masa Campagnie.

KELEBIHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
Tidak disangkal bahwa historiografi masa kolonial turut memperkuat proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari subyektifitas yang melekat, sejarawan kolonial berorientasikan fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta-fakta sungguh mencolok. Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan literatur historiografis yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial.

KELEMAHAN HISTORIOGRAFI MASA KOLONIAL
1.    Subyektifitas Tinggi Terhadap Belanda. Subyektifitas begitu melekat pada historiografi masa kolonial. Sejarawan kolonial pada umumnya deskripsinya berorientasikan pada kejadian-kejadian yang menyangkut orang-orang Belanda, misalnya dalam sejarah VOC. Banyak kupasan-kupasan yang menekankan ciri yang menonjol yaitu Nederlandosentrime pada khususnya dan Eropasentrisme pada umumnya.
Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa perang bersekala besar (Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh) maupun yang bersekala kecil yang dilakukan oleh rakyat disebut rusuh atau brandalan. Seperti pemberontakan di Cilegon, Gedangan, Jambi, Cimareme. Sejarah perang kolonial terutama menguraikan berbagai operasi militer secara mendetail, sedangkan bangsa Indonesia hanya disebut sebgai obyek dari aksi militer itu.
2.    Kekurangan Kualitatif dari Sejarawan-Sejarawan Kolonial. Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku dan dibuat-buat. Buku-buku yang seluruhnya ditulis dari ruang studi di Belanda dan hampir seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabatnya dan orang-orang pribumi yang kebetulan dijumpai. Hanya sedikit dibicarakan tentang rakyat yang berfikir, yang merasa dan bertindak dan hampir tidak seorang pun yang berusaha meneliti syair-syair, hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi pertimbangan dan pendapat mereka karena kebanyakan sejarawan Campagnie hampir tidak menceritakan akan adanya tulisan-tulisan pribumi atau menilainya terlalu rendah. Mereka malu akan bahan-bahannya baik orang Eropa maupun orang pribumi dikritik. Bahwa keadaannya jauh lebih baik dan hal ini membenarkan kehadiran orang-orang Eropa sekarang.
3.    Kekurangan Kuantitatif. Setelah masa kompeni relatif sedikit karya-karya yang diterbitkan yang disebabkan oleh sistem kerahasian yang fatal dan yang berlaku pada masa itu dan pergawasan yang menurun terhadap jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah bahan arsip yang banyak, hanya sedikit saja yang merupakan sumber terbuka. Cukup besar keuntungan kita apabila mempunyai penerbit dari Generalie Missiven atau laporan-laporan kolonial yang dititipkan setiap tahun, satu atau beberapa exemplar pada kapal-kapal yang berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah Hindia Belanda melainkan juga tentang sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya memiliki suatu penerbitan yang sangat tidak lengkap dari missiven yang dikumpulkan oleh ahli arsip kerajaan, de Jonge memiliki hubungan Indonesia. Penerbit ini dicetak atas kertas yang buruk sekali, sehingga penerbit ini tidak akan bertahan lama hal ini merupakan salah satu contoh kesulitan yang di hadapi seorang sejarahwan kompeni. Jumlah buku tentang sejarah Indonesia sangatlah minim.

db

VOC (Vereenigde Oostindisce Compagnie)

 
            VOC didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 merupakan perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Tujuannya ialah untuk menguasai perdagangan di Indonesia dengan sendirinya membangkitkan perlawanan pribumi yang merasa langsung terancam kepentingannya. Selain itu juga untuk menjalankan politik perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Sistem monopoli perdagangan bertentangan dengan sistem tradisional yang berlaku, lagi pula tindakan-tindakan dengan paksaan dan kekerasan menambah kuat sikap permusuhan.
            Pimpinan VOC ini terdiri atas tujuh belas anggota, maka bisa disebut dengan Heeren Zeventien. Pelayaran pertama yang dilakukan ialah mengunjungi Banten dan berlayar kembali lewat Selat Bali, sedangkan angkatan kedua dapat mencapai Maluku dan disitulah pertama kali dilakukan pembelian rempah-rempah. Pada angkatan ketiga mereka telah melakukan penyerangan terhadap benteng Portugis di Ambon akan tetapi mereka gagal. Akhirnya mereka mendirikan benteng sendiri yang diberinama dengan benteng Afar, saat itu juga mereka telah membuat kontrak dengan pribumi mengenai jual-beli rempah-rempah. Sedangkan angkatan kelima lebih berhasil dibanding dengan angkatan keempat, karena telah dilakukan pembukaan perdagangan dengan Banten, Banda, dan Ternate, namun gagal merebut benteng Portugis di Tidore.
            Kecuali persaingan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, konfrontasi dengan Portugis tidak dapat dielakkan, karena ini juga merupakan kelanjutan permusuhan di Eropa. Permusuhan ini bertambah kuat karena kehadiran Belanda mendorong umat islam untuk lebih memperkokoh persatuan untuk menghadapinya.
            Semakin gencarnya agresi VOC, membuat Mozambique dan Goa diserang, benteng Portugis Victoria direbut, Tidore mulai memihak Belanda. Angkatan ketiga menyerang benteng Ternate namun gagal dan hanya berhasil menduduki Ternate bagian utara. Kemudian Angkatan keempat menyerang Banda dan mendirikan benteng Nassau di Bandaneira tahun 1607. Jatuhnya benteng di Solor pada tahun 1613 ke tangan Belanda, membuat Portugis akhirnya kehilangan pengaruhnya di Nusa Tenggara.
            Belanda beranggapan bahwa jaringan perdagangan di Indonesia bagian barat, dapat disimpulkan fungsi suatu tempat sebagai pusat pemasaran yang strategis dan sangat penting, dibuktikan dengan kedudukan Malaka, Johor, dan Banten. Alternatifnya ialah Malaka, Johor, dan Jakarta, akhirnya Jakarta yang dipilihnya. Pada waktu itu mengapa Jakarta terpilih yaitu karena Jakarta terletak didaerah yang kedudukannya paling lemah, sedangkan Malaka masih berada ditangan Portugis, selain itu juga menjadi sasaran serangan Aceh.
            Ketika VOC memulai kegiatannya di Indonesia yang dihadapinya ialah suatu perdagangan internasinal dengan sistem terbuka. Peraturan jual-beli, proses penawaran, penawaran, penentuan harga semuanya telah mengikuti pola atau sistem yang telah berlaku lama. Perdagangan rempah-rempah menempati kedudukan yang utama, tidak terpisah juga dari perdagangan beras, sagu, kain, dan bahan komoditi lainnya. Bahan kain didatangkan oleh pedagang dari Gujarat dan Benggali, sedangkan bahan makanan pokok seperti beras dipegang oleh pedagang Jawa.
            Jaringan transportasi dan transaksi komoditi tersebut dengan teknologi navigasi dari zaman itu maka dua basis pemusatan perdagangan dan pelayaran ternyata mempunyai fungsi yang strategis. Garis Malaka-Maluku secara struktural merupakan sistem yang berfungsi secara optimal. Dengan itu tumbuhlah subsistem-subsistem dengan pusat-pusat kecil sebagai pendukung. Untuk menghadapi sistem itu, VOC dalam usahanya menguasai perdagangan rempah-rampah, menduduki dua basis itu, Maluku dahulu kemudian baru Malaka. Selain itu mereka juga telah menentukan alternatif lain sebagai pengganti Malaka yaitu Batavia.
              Pada awalnya VOC mengalami kesulitan dalam usahanya menerobos sistem perdagangan yang berlaku. Dengan kontrak-kontrak hendak diperoleh monpoli namun selama tidak ada dukungan politik tidak dapat pelaksanaannya. Jalan radikal untuk merebut monopoli ialah dengan melarang semua pengangkutan barang dagangan Portugis dengan kapal pribumi, semua ekspor rempah dihentikan, bahkan pohon-pohon pala dan cengkeh ditebangi. Selain itu juga Portugis menyarankan agar masyarakat pribumi yaitu orang pribumi harus menukarkan rempah-rempah dengan bahan pakaian dan makanan.
            Pertimbangan lain politik radikal ialah untuk mengendalikan dan membatasi perdagangan Asia, namun hal tersebut pada kelemahan angkutan VOC yang serba kekurangan awak kapal, amunisi, sehingga tidak bisa mengawasi dan memberlakukan sanksinya. Pembelian rempah-rempah dengan mata uang logam ternyata merugikan VOC, rakyat menabung hasil penjualannya dan uang tabungannya itu untuk membeli bahan makanan dan pakaian. Keuntungan VOC diperoleh dari penjualan makanan itu. Cara lain yang digunakan ialah dengan memblokir Selat Malaka dan perdagangan Portugis, hal ini akan menguntungkan bangsa lainnya seperti pedagang Jawa, Gujarat yang bebas dari persaingan Portugis, mereka dapat bergerak dengan leluasa. Kapasitas VOC masih sangat terbatas.
Di Kepulauan Banda akhirnya VOC memperlihatkan politik kekerasan. Bertentangan dengan perikemanusiaan apabila rakyat dihukum dengan memblokade pemasukan bahan makanan dan komoditi lain. Penentuan harga sepihak oleh VOC bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku, antara lain yaitu kesempatan untuk tawar menawar. Politik VOC ternyata tidak menjamin mendapat keuntungan yang besar, malahan sebaliknya yaitu pada awal VOC beroperasi pasaran rempah-rempah yang membanjir sehingga merosotkan harga penjualan disana. Pada pertengahan abad XVII politik VOC di Banda mengakibatkan kemerosotan produksi rempah-rempah sehingga sangat menyusut volume perdagangannya.  
Untuk memghadapi faktor-faktor tersebut maka VOC berusaha untuk mengalihkan kegiatan perdagangannya ke komoditi di Asia yang disebut haalhandel. Selain itu VOC juga menarik perdagangan pribumi dan bangsa Asia ke pusat-pusat yang dikuasainya, seperti Batavia dan Ambon dengan tujuan untuk menarik pajak dan keuntungan lainnya.
Portugis meninggalkan Maluku dan Nusa Tenggara pada tahun 1613 karena kemenagan berturut-turut diperoleh oleh Belanda. Bangsa Inggris tidak berkesempatan berekspansi dalam operasinya di Indonesia dan akhirnya tinggal suatu loji di Banten. Tiga kekuasaan yang masih perlu dihadapi yaitu Makassar, Aceh, dan Mataram. VOC mempunyai kesibukkan memperkokoh basis-basisnya dan mendesak saingan-saingannya, ketiga pusat kekuasaannya itu leluasa menjalankan konsolidasinya.
Penetrasi VOC dalam jaringan perdagangan di Indonesia membawa konflik-konflik dengan pusat-pusat perdagangan yang memegang peranan penting. Yang menjadi urat nadi dalam sistem itu ialah perdagangan beras dan bahan makanan yang dipegang oleh pedagang Jawa. Sejak kuno rempah-rempah datang dari Maluku, beras serta komoditi lain diangkut kembali. Akhirnya perdagangan itu membawa hubungan erat, terutama dalam proses islamisasi daerah, selain itu perlawanan terhadap penetrasi bangsa barat yang dibarengi dengan proses Kristianisasi.
Kehadiran VOC dan kegiatan monopolistis yang hendak dijalankan secara langsung membahayakan kedudukan Gresik, Surabaya dan kota-kota pesisir lainnya di Jawa Timur. Sejak tahun 1602 sejak ketika Belanda mulai membangun basisnya di Ambon dan Banda, Gresik merasakan akibatnya merasakan menurunnya aliran rempah-rempah ke pasaran. Begitu pula saat VOC berusaha menghalangi dan mungkin menghentikan perdagannya dengan Malaka, merupakan pukulan yang hebat untuk Gresik.
Gresik dan Surabaya memperkuat diri untuk menghadapi ancamannya dengan mengadakan aliansi dengan pihak-pihak lain. Kedudukan kuat Gresik dan Surabaya tidak tidak semata-mata karena peranan perdagangan tetapi juga karena pengaruhnya dalam keagamaan. Seperti halnya yang dianggap sebagai pemuka Islam yang tersohor di seluruh Nusantara yakni Panembahan Giri, mempunyai pengaruh yang sangat besar di kepulauan rempah-rempah ini. Hubungannya sangat erat penguasa Giri dengan Ambon dan Banda, khususnya rakyat Banda yang memperoleh perlindungan dalam menghadapi penetrasi VOC pada tahun 1622.
Perdagangan beras yang harganya jauh lebih rendah dibanding pasaran lain yakni di Jepara, maka secara otomatis menarik pedagang dari segala penjuru. Yang menarik lainnya ialah bahan makanan lain yang melimpah seperti minyak kelapa, ikan, ayam, dan ternak lainnya. Namun, disamping itu ada faktor penghambat yang ada di Jepara, yaitu pelabuhannya pada tengah musim barat kurang memberikan perlindugan kepada kapal yang berlabuh.
Tetangga terdekat dari basis VOC di Batavia yakni Banten segera mengalami kemunduran yang disebabkan oleh politik monopoli VOC. Sebelum Ambon dan Banda diblokade oleh Belanda, hubungan Banten dan Malaka sangat baik, rempah-rempah dan lada diambil di Banten, dan bahan pakaian dijual ditempat itu oleh Portugis. Namun saat Belanda memblokade Ambon dan Banda, perdagangan rempah-rempah menyusut sekali dan permintaan bahan pakaian sangat terbatas.
Pada awal abad ke XVII penetrasi VOC dalam jaringan perdagangan Indonesia menghadapi juga persaingan, kalau bukan perlawanan dari pedagang non Asia seperti, Gujarat, Keling, Benggali, dan Cina. Komoditi yang mereka kuasai ternyata mempunyai nilai tukar tinggi di Indonesia dan sangat menguntungkan melebihi perdagangan rempah-rempahnya. Keduanya terjalin erat satu sama lain sehingga politik monopoli VOC dalam rempah-rempah harus diperluas mencakup komoditi dari perdagangan Asia.
 Daerah perdagangan yang meliputi wilayah dari Surat sampai Deshima, VOC beroperasi dengan angkatan kapal dagang yang bertambah besar sejajar dengan perluasan perdagangannya. Kapal-kapal tersebut ada yang berhenti di Batavia sambil menunggu keberangkatannya kembali ke Nederland.
Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan. Sebabnya ialah VOC mengalami kesulitan keuangan, VOC banyak mengeluarkan biaya perang, banyak pegawai VOC yang korupsi, banyak prajurit VOC yang mati akibat perlawanan rakyat.

Sumber Bacaan:
Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium Jilid 1. Karya Sartono Kartodirdjo. Penerbit: PT. Gramedia, Jakarta. Tahun 1988.